Cerita Sahabat
Chapter I
Setiap orang pasti memiliki teman. Teman yang mengiringi
setiap cerita dari hidup kita di sepanjang jalan. Sebagian teman cukup
beruntung dengan hidup yang terlihat lebih baik daripada teman lainnya,
sebagian lagi cukup kuat dengan cobaan yang terlihat lebih berat daripada teman
lainnya.
Tulisan ini bukan tentang apa yang saya jalani, bukan pula
tentang perbandingan hidup orang-orang yang saya kenal. Tulisan ini adalah
cerita. Cerita tentang sepintas hidup orang-orang yang hadir di dalam hidup
yang mungkin bisa memiliki makna bila disampaikan. Bukan sebuah perjalanan
panjang hidup individu, melainkan sepenggal perbincangan yang seringkali
diselingi secangkir kopi.
I. SISIL
Tidak semua orang cukup beruntung dengan hidup yang bisa
mereka pilih. Ketika seseorang mempertanyakan pekerjaan, sebagian orang dengan
bangga menceritakan keseharian yang mereka lakukan, sebagian lagi dengan senyum
datar sekedar menyebut nama tempat dimana mereka bekerja. Ketika pekerjaan
menjadi pemenuh tujuan hidup yang akhirnya terbagi menjadi orang-orang yang
bekerja untuk memenuhi hidup dan orang-orang yang bekerja untuk mengejar mimpi.
Tulisan ini adalah sepenggal perbincangan seorang
perempuan yang pada akhirnya berdamai dengan pilihan hidup yang diambilnya.
Cerita sederhana mengenai seseorang yang
memutuskan untuk mendahulukan mimpi orang tuanya diatas mimpi pribadi. Sebut
namanya Sisil.
“I always envy people
who’s able to chase their dream,” katanya suatu malam.
Aku yang saat itu hanya siap mendengarkan sebuah cerita,
terdiam. Ada senyum tanpa ekpresi di sudut bibirnya, “Lo tau gue suka musik,”
lanjutnya.
Malam itu Sisil memesan secangkir kopi pahit. Arabika Gayo
yang diseduh secara manual sesuai rekomendasi barista. Sebelumnya Ia bercerita
bahwa Ia bukan pecinta kopi. Baru akhir-akhir ini dia mulai paham cara
menikmati secangkir kopi hitam tanpa gula layaknya penikmat kopi garis keras
pada umumnya.
Tergambar lagi senyum datar di sudut bibir Sisil. Sambil
menyeruput kopi pahit, Ia kembali bercerita. Bagi Sisil, musik bukan hanya
tentang seni suara. Selalu ada saatnya Sisil terlarut bersama irama dan lirik
sebuah lagu. Tersenyum dengan keberadaan lirik romantis dan menangis bersama
sebuah lagu yang melankolis. Baginya musik adalah bagian dari jiwanya. Sebuah
pelampiasan dari apa yang Ia rasakan.
“Gue inget waktu lo manggung, kalo lo cowok udah gue pacarin
kayaknya,” kataku diselingi tawa sambil bernostalgia dengan masa SMA kami
Sisil tertawa.
“Yang gue tau, musik itu passion
lo,” lanjutku.
Kami adalah teman sebangku waktu SMA. Teman yang cukup dekat
untuk mengetahui kebiasaan dan kejelekan masing-masing. Aku tahu Sisil adalah
kapten cheerleader sekolah kami, hal yang paling tak pernah Ia sebagai wanita
sepertiga pria sangka dan kemudian sanggupi. Aku tahu Sisil bukan seorang penari,
tetapi selalu ada tarian jari yang menghasilkan gambar-gambar unik di sela-sela
pelajaran. Aku juga tahu, dibalik tampilan tangguh seorang drummer, Sisil memiliki hati lembut yang seringkali begitu
sensitif. Aku tahu Sisil suka mengorek hidungnya dalam-dalam dan kemudian
menempelkannya pada apa yang bisa Ia gapai di kolong meja.......
Oke, yang terakhir adalah bohong.
“Gue pengen banget berkarir di musik, tapi mau gimana lagi.
Keluarga gue beranggapan musik itu bukan mata pencaharian,” sambung Sisil,
“bagi mereka musik itu hobby.”
Sebenarnya bukan hal
yang mustahil bagi Sisil untuk mengejar mimpi di dunia musik. Ketika gadis lain
memilih untuk menjadi vokalis atau gitaris, Ia memilih untuk menjadi seorang drummer. Dan Sisil berbakat dalam hal
ini. Berkali-kali Ia mengikuti kejuaraan band dan berkali-kali pula Ia menjadi drummer terbaik yang bahkan mengalahkan
lawan jenisnya. Tak jarang pula Ia menarik minat musisi nasional yang namanya
tidak asing jika disebutkan. Karir Sisil di dunia musik besar kemungkinan
cemerlang.
Tapi bukan itu jalan yang akhirnya dipilih Sisil untuk memenuhi
hidupnya sendiri.
Selesai SMA, sebagaimana murid pada umunya, kami berusaha
mengejar perguruan tinggi favorit kami. Sayangnya, masing-masing dari kami
gagal. Aku yang berusaha mengejar ilmu Sosial Politik di perguruan tinggi
negeri pada akhirnya harus puas dengan ilmu ekonomi di unversitas swasta.
Sementara Sisil yang diharapkan masuk fakultas kedokteran pada akhirnya
berakhir sebagai mahasiswi jurusan DKV.
Teringat sebuah kalimat yang aku ucapkan kepada orang-orang
secara ironi disaat yang lalu, “Hahaha... Kayaknya otaknya enggak sampe ya...
Hahaha”
Sebuah kalimat yang diucapkan sambil tertawa hanya untuk
menutupi hati yang berantakan... Ketika semua usaha dikerahkan, semua jalur
diikuti, panjatan doa disampaikan, pada akhirnya hasil yang ada tidak sesuai
harapan. Yang terlintas hanya rasa iri atas rasa syukur dari mereka yang
mimpinya terwujud. Aku rasa Sisil pun begitu.
Kembali pada secangkir kopi di suatu malam.
Ada yang berbeda dari perjalananku dan Sisil di dunia
perkuliahan. Sisil tidak menyelesaikan studinya di bidang DKV. Singkat cerita, Sisil
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di bidang kedokteran. Hal
yang membuat Sisil harus memulai semuanya dari nol. Ketika teman-teman
seangkatannya sudah memulai tugas akhirnya, Ia masih harus berkutat dengan
pemahaman ditengah semester.
Pada awalnya ketika aku mengetahui Sisil menjadi seorang
calon dokter, aku ikut berbahagia. Kupikir keinginannya akhirnya terwujud.
Membayangkan Sisil sebagai seorang drummer
yang berprofesi sebagai seorang dokter. She
couldn’t be any cooler.
Aku salah.
“Keluarga gue yang pengen gue jadi dokter,” ucapnya tanpa
melihatku membuatku kembali terdiam.
“Awalnya gue sempet ngerasa berat banget ngelakuin sesuatu
yang kurang gue suka. Sempet iri ngeliat orang-orang yang bisa berusaha ngejar
mimpi mereka. Tapi ya gimana...”
Aku yang merasa sedang merealisasikan mimpi enggan untuk
berkomentar. Bagiku mengejar mimpi itu sulit, tapi aku tahu, menjadi orang yang
memiliki mimpi begitu besar, mampu mencapai mimpi tersebut, namun tak bisa
merealisasikannya adalah hal yang tidak kalah sulit.
“Sampai suatu hari gue akhirnya bisa nerima keadaan gue.”
Sedikit senyum kembali tergambar di wajahnya.
“Lo tau gue sering ditempatin di daerah-daerah,” katanya dan
aku pun mengangguk, “di satu sisi gue ngerasa yang paling berat ya itu. Jauh
dari keluarga, dari temen2. Hiburannya terbatas, enggak ada bioskop, enggak ada
mall. Tapi di sisi lain, itu yang paling ngajarin gue banyak hal dan ngebuat
gue semakin tough. Yang paling berkesan
itu pas gue di tempatin suatu Rumah Sakit di Pekalongan.”
Sisil mengambil jeda sejenak sebelum kemudian kembali
melanjutkan ceritanya, “Selama masa pendidikan gue yang dimana-mana itu, gue
dididik sama beberapa dokter. Dari didikkan itu gue belajar banyak hal. Gue
yang masih berusaha untuk cari tau mau jadi dokter kayak apa nantinya, akhirnya
berusaha ambil bagian-bagian dari dokter yang pernah ngajarin gue.
Setiap malem gue cek pasien-pasien yang ada di bangsal gue.
Bukan hal yang wajib dilakuin sih, tapi pengen aja liat keadaan mereka. Ngajak
ngobrol seadanya.
Waktu di Pekalongan, gue dikasih bangsal VIP yang berarti di
setiap ruangan jumlah pasiennya lebih sedikit dari bangsal umum. Salah satu
kamar itu diisi sama bapak-bapak setengah baya. Setiap gue kesana, selalu ada
satu cewek yang nemenin dia. Gue ambil kesimpulan dia istrinya.
Ada satu fakta lagi tentang dia, dia sakit kanker stadium
akhir. Semua alat ataupun obat yang dikasih ke bapak itu enggak bakal
bener-bener ngobatin. Ibaratnya cuma sekedar memperpanjang hidupnya atau
sekedar mengurangi rasa sakit. Dan... Aroma ruangannya bener-bener enggak enak.
Lo tau, kayak campuran bau pesing sama apek.”
Sedikit informasi tentang kanker. Beberapa jenis kanker bisa
menimbulkan bau yang kurang sedap. Biasanya disebabkan oleh keberadaan sel kanker
yang tumbuh begitu cepat dan mengakibatkan matinya beberapa jaringan. Matinya
jaringan ini menimbulkan adanya kuman yang akhirnya menyebabkan luka yang
semakin meluas dan bisa saja berujung dengan kematian.
“Di satu malem, gue ngobrol sama Si Bapak yang kebetulan
belum tidur. Dia cerita tentang hidupnya.”
Sisil terdiam seakan berusaha kembali mengingat hari
perbincangan, “Perempuan yang gue pikir istrinya itu ternyata bukan istrinya,
bahkan bukan keluarganya. Perempuan itu dibayar untuk nemenin. Si Bapak enggak
menikah, dan keluarganya enggak ada yang bisa bantu urus karena punya
kepentingan masing-masing.
Ada salah satu omongannya yang paling gue inget. Intinya, ‘Dokter,
jangan selalu mikirin kerja. Saya kerja setiap hari, ngumpulin uang. Sekarang
saya punya uang, tapi saya sendirian. Saya tau alat-alat ini enggak akan
nyembuhin saya, saya cuma enggak mau di rumah sendirian. Saya mau ada yang urus
saya. Saya enggak mau mati sendirian.’’
Kini kami sama-sama terdiam. Aku ikut berpikir dan mulai
membayangkan suasana rumah sakit saat Sisil berbincang dengan Bapak itu,
“Sekarang Bapak itu gimana?”
“Meninggal pas gue lagi off. Tiba-tiba pas gue masuk kamarnya
udah kosong,” jawab Sisil sambil menunduk memainkan gelas kopinya, “Ngobrol
sama Bapak itu gue jadi mikir. Gimana ya... Jadi ngebuka pikiran gue lebih
tepatnya. Ternyata hal kecil bisa bermakna. Apa yang gue kerjain ternyata punya
arti buat orang lain. Dari situ gue mulai bisa nerima pekerjaan gue.”
Aku kemudian tersenyum datar, “Lo tau Sil, nenek gue sering
masuk rumah sakit dan seringkali nyokap gue yang anter. Tiap pulang dia selalu
cerita tentang situasi di rumah sakit. Mulai dari perawatnya yang bener-bener
cuek sampe dokternya yang susah dihubungi. Gue jadi inget omongan temen gue
yang juga perawat. Dia bilang semakin senior perawatnya, kadang semakin hilang
emosinya. Terlalu sering ngeliat orang yang meninggal di depan mata, atau
keluarga yang kehilangan. Walaupun balik lagi ke orangnya ya. Enggak semuanya
begitu.
Gue tau jadi dokter itu susah, bahkan kimia aja gue enggak
pernah suka. Makanya pas gue tau lo jadi dokter tuh kayaknya.....
Waaaaaaahhhh,” sedikit fakta, disaat tertentu aku sering kehilangan kata-kata
untuk menggambarkan sesuatu, “Dan setelah tau lo akan jadi dokter yang seperti
apa....................gue bangga.”
Sisil tersenyum.
Kurang paham arti senyuman Sisil saat itu sampai ia mulai
kembali berbicara, “Hal yang ngebuat gue bisa bertahan itu adalah apresiasi
dari orang-orang. Tiba-tiba ada pasien yang dateng ke gue sekedar bilang terima
kasih. Kadang bawain makanan....
Ya, kayak lo, tapi bedanya lo di bidang masak.
Pas orang-orang appreciate
dan ngabisin yang lo buat, lo ngerasa dihargain dan yah...seneng.”
Kini aku yang tersenyum.
“Gue rasa jadi dokter itu juga sebuah seni,” lanjutnya,
“kalau main musik itu seni pake instrumen, masak dengan platingnya, dokter juga
seni dengan sudut pandangnya sendiri.”
◊◊◊◊◊
Aku selalu percaya Tuhan punya cara tersendiri dalam
menentukan jalan hidup seseorang. Apa yang terjadi mungkin enggak selalu sesuai
dengan harapan, enggak selalu menyenangkan, dan bahkan enggak selalu bisa diterima.
But, who said life would be easy anyway?
Pada akhirnya, hidup adalah tentang pilihan.
Dari kecil kita selalu disuguhi film atau cerita tentang
orang-orang yang berjuang untuk mengejar mimpi. Didukung oleh sepenggal
peribahasa, “kejar mimpimu setinggi langit”. Tanpa sadar banyak masa kecil
seseorang diisi dengan angan-angan tinggi tentang akan jadi apa mereka kelak. Seiring
dengan waktu, orang-orang akan dihadapi kenyataan bahwa mimpi tidak selalu
terealisasikan. Menyisakan rasa kagum atau kadang iri kepada mereka yang
mimpinya tercapai.
Aku rasa memilih untukk mengejar mimpi atau tidak bukanlah
soal benar atau salah. Semua orang memiliki prioritas sendiri di dalam
hidupnya. Memprioritaskan orang tua dibandingkan ego ambisi pribadi bagiku lebih
mulia. Percaya bahwa segala sesuatu yang dilandasi rasa bakti kepada orang tua,
pasti punya berkah tersendiri.
Mereka bilang mengejar mimpi butuh perjuangan. Setuju.
Lantas, apa mereka yang tidak mengejar mimpi tidak berjuang? Well, just a little reminder. Hidup itu
perjuangan. Mengejar mimpi atau tidak, kita sama-sama berjuang.
Cerita tentang mereka yang dengan sepenuh hati berusaha
mengejar mimpi selalu membuatku bersemangat. Menyemangati diri kalau ada
orang-orang di luar sana yang juga jatuh bangun mewujudkan angan-angannya. Reminding myself that I’m not a single
fighter. Tapi, cerita tentang orang-orang yang bersusah payah menjalani
hidup seringkali lebih terasa nyata. Cerita tentang mereka-mereka yang hidupnya
diisi dengan keseharian dan ambisi sederhana tentang bagaimana caranya
bertahan.
Sedikit pesan dari Ibu Dokter yang rela menyisihkan ceritanya
untuk menginspirasi,
“If you can’t do great things
yet, do small things in a great way ”
Check out this doctor coolness on instagram: @sisilprisilla
Comments
Post a Comment