SELAMAT JALAN SUAMIKU by Resi Listiani



Tepat 7 bulan hari pernikahan kami, saat itu usia kandunganku berjalan 6 bulan.

5 November 2015, pukul 1 dini hari...“kamu tidur kamar gih, pindah kekamar, udah jam 1 malem ini jangan begadang terus, kasian baby dalem perutnya”, ucap suamiku dalam ruang televisi.“lah kamu ga pindah kekamar ? aku nungguin kamu”
“engga aku disini aja, lagi pula aku masih batuk batuk-batuk kasian kamu sama babynya”


itu percakapan terakhir yang aku ingat sebelum kondisinya menurun...

Saat itu aku bergegas untuk tidur dikamar, kemudian aku terlelap entah pukul berapa.

Tak lama aku terlelap tiba tiba terdengar teriakan, aku lihat saat itu p
ukul 3 dini hari dan,

“RESIIIIII, RESIIII.... NANDAR, YA ALLAH........”

Itu suara ibu mertuaku yang kebetulan beliau sedang masuk kerumah kami karena memang posisi rumah kita saling berbelakangan. Tanpa berpikir panjang aku bergegas keluar kamar dan ternyata... Ya tuhan cobaan apa ini, masih terekam jelas, saat itu suamiku terduduk kaku di sofa hijau milik kami depan televisi. Hanya warna putih yang terlihat dalam bola matanya, aku pegang seluruh badannya, semua dingin, kaku. Bagaimana mungkin aku sanggup melihat orang yang aku sayangi dalam keadaan seperti ini ? Seketika badanku lemas, perutku yang sudah mulai membuncit terasa kaku. Air mata jelas sudah tak dapat kubendung. Aku hanya terkulai lemas dilantai, dan aku langsung menghubungi keluargaku dirumah. Sedang bapak mertuaku sibuk mempersiapkan mobil untuk segera membawa suamiku kerumah sakit terdekat.

Saat itu kami bawa suamiku ke Rumah Sakit Budi As*h Ciputat, segera kami dapat pelayanan dalam ruang IGD, setelah mendapatkan perawatan alhamdulillah suamiku sudah mulai sadarkan diri, suasana sedikit mencair. Tinggal kami mencarikan ruang inap untuk suamiku. Ternyata ruang yang tersedia hanyalah VIP. Dokter menganjurkan kami untuk ke Rumah Sakit P*rsahabatan di Rawamangun dengan alasan alat disana lebih memadai untuk kondisi suamiku saat itu.

Tanpa berpikir panjang, masih dihari yang sama sekitar pukul 7 pagi kami segera membawa suamiku ke Rumah Sakit P*rsahabatan, tapi sesampainya kami disana, jangankan ruang inap, dalam ruang IGD pun penuh, bahkan banyak pasien yang terbengkalai tidur dilorong-lorong jalan. Kami menunggu 1 jam, tetapi masih belum ada kepastian jua. Sampai akhirnya aku, bapak dan ibu mertuaku kembali membawa suamiku ke Rumah Sakit Sari As*ih Ciputat. Saat itu kami deal untuk memasukkan suamiku dalam ruang vip yang entah berapa nomer kamar inap suamiku, aku lupa.

Perasaanku sudah semakin tenang karena suamiku sudah mendapatkan penanganan khusus, saat itu dokter mengatakan suamiku infeksi saluran pencernaan. Aku sudah mulai melihat senyum dalam wajahnya, ditambah kedua orang tuaku yang setia menemaniku. Masih hari yang sama, siang sekitar pukul 12, dalam ruang inap suamiku, ada aku, kedua orang tuaku dan adik perempuanku. Tak lama berselang aku menyuapi bubur untuk suamiku, suamiku kejang, kejadian pukul 3 dini hari kembali terjadi, badannya kaku, dingin dan hanya warna putih yang terlihat dalam bola matanya. Aku panik, adikku menangis berlari ketakutan keluar ruang dan hanya mengintip dari balik pintu. Sedang orang tuaku bergegas memanggil dokter jaga. Tak selang 1 menit, dokterpun datang bersama 2 perawat untuk melalukan penanganan. Beberapa saat suamiku kembali sadar.

“Kamu jangan begitu lagi ya, cepet sembuh” aku katakan ini dihadapannya dengan mata penuh pengharapan sambil ku genggam erat jemari tangannya. Dia hanya tersenyum lalu ia berkata,

“Emang aku kenapa ?”

Dan kami (aku dan orang tuaku) saling bertatapan.

“Gapapa ko, udah pokoknya cepet sehat biar kita cepet pulang kerumah” sahutku tanpa berpikir panjang dan berusaha tak menghiraukan pertanyaannya tadi.

Dia sudah mulai kembali bercanda dengan kami, ditengah perbincangan kami, suamiku memanggil adik perempuanku.

“Asya sini, ka nandar mau ngomong”.

“Kenapa Ka?” sahut Adikku


“Maafin Ka Nandar ya belum sempet beliin Asya selimut frozen, gapapa kan? dimaafin gak nih?”


Adikku hanya tersenyum sambil berkaca kaca menahan tangis, karena ia masih syok melihat suamiku saat kejang tadi.
Suamiku memang dekat dengan adik keciku yang saat itu masih kelas 2 sekolah dasar. Dan suamiku dulu pernah berjanji ingin membelikannya selimut dengan karakter Elsa, Anna dan Olav.

Seketika aku terus memikirkan kalimatnya. Karena beberapa pekan sebelum suamiku sakit dia pernah berjanji ingin membelikan selimut Frozen untuk Adikku, yang kebetulan karakter favoritenya adalah tokoh yang ada dalam film F
rozen

Kenapa dia minta maaf ? kan masih ada hari esok” pikirku.
Tapi disini aku terus berusaha untuk berpikir positif.
Tak lama dokter memanggilku, ia menyarankan untuk melibatkan dokter saraf, yang ditakutkan ada bagian saraf yang bermasalah hingga mengakibatkan kejang ditubuh suamiku. Aku hanya menurut saja, apapun itu asal suamiku sembuh.

Waktu terus berjalan hingga akhirnya tiba pukul 2 dini hari, saat itu suamiku memanggilku dan mengeluhkan pusing dikepalanya, lalu aku memanggil perawat untuk melakukan penanganan, setelah mengecek semuanya mereka hanya memberikan 1 butir obat berukuran cukup besar untuk meringankan nyeri dikepala. Saat itu juga suamiku meminum obat yang diberikan.
Selang beberapa saat, suamiku kembali kejang, bahkan yang ini cukup lama, aku hanya menangis lemah sambil terus berdoa untuk kesembuhannya. Perawat dan dokter jaga datang dan kembali mendapatkan penanganan. Dokter memanggilku untuk membicarakan lebih lanjut tentang sakitnya. Dokter bilang organ dalam saluran pencernaannya sangat terganggu, ia menolak semua makanan yang masuk kedalam, itu yang membuatnya kejang. Dan dokter mengatakan solusi terbaiknya adalah memasang selang dari hidungnya yang langsung dilarikan kelambung. Karena aku takut kejadian itu terulang lagi ,atas izin keluarganya pula aku putuskan ia memakai selang untuk memasukkan makanan cair dan ini demi kebaikannya. Agar lambungnya tetap teristerisi tanpa harus melalui saluran pencernaan. Dan suamiku hanya boleh minum beberapa sendok air mineral, hanya untuk membasahi rongga mulut saja.

Keesokan harinya, 6 November 2015 dokter yang menangani suamiku bertambah 1, yaitu dokter spesialis syaraf, karena sebelumnya hanya dokter ahli organ dalam saja. Dokterpun menjalani berbagai macam pemeriksaan termasuk Citiscan juga Rontgen. Tetapi hasil dari Citiscan tidak ada yang buruk, semua yang ada dikepalanya baik baik saja. Untuk hasil Rontgen, dokter mengatakan tidak hanya sistem pencernaannya yang menghawatirkan. Kondisi paru parunya sebelah kananpun semakin parah, hitam dan bahkan sudah tak berbentuk. Yang mengharuskannya untuk kembali mengkonsumsi obat rutin dan mendapat suntikan setiap pagi selama 3 bulan kedepan.

Ya aku ingat, tepatnya di tahun 2013 saat ia bekerja di Singapore (saat itu kami belum menikah), ia mulai mengeluhkan batuknya yang tak kunjung sembuh. Sampai ia putuskan untuk berhenti merokok. Ia dahulu ia adalah perokok aktif. Tak pernah seharipun hari ia lewatkan tanpa merokok.

Sepulangnya ke Indonesia aku sarankan ia untuk mengecek kondisinya. Dan ternyata benar, ada flek dalam paru-parunya yang mengharuskannya untuk minum obat rutin selama tiga bulan. Dan tak boleh terlewatkan 1 hari pun. Saat itu aku cukup bahagia, dibalik sakitnya ada hikmah lain, ia lepas dari 
sebungkus sampah yang hanya dibakar untuk dinikmati oleh penikmatnya dan meninggalkan asap berbahaya untuk insan lain. Tetapi beberapa bulan sebelum hari pernikahan kami paru parunya kembali kambuh, ia kembali mendapatkan obat yang harus dikonsumsi rutin selama 3 bulan. Dokter bilang “ini obatnya dosisnya lebih tinggi, paru-paru kamu bisa saja sembuh tapi efeknya nanti salah satu organ tubuh lain melemah, entah itu ginjal, hati ataupun lambung”. Dan iapun siap menerima semua resikonya demi kesembuhanya. Saat itu aku rutin mengantarnya untuk terus check up di rumah sakit . Tidak hanya pengobatan secara medis, kamipun ikhtiar melalui berbagai macam pengobatan alternatif, berharap agar ia bisa sembuh total. 

Dan aku berpikir bahwa mungkin kondisi lambungnya saat ini ada sangkut pautnya dengan obat paru terakhir yang suamiku konsumsi. Tapi kenapa ya Allah, kenapa paru-paruya kambuh untuk ke 3 kalinya disaat konisinya saat ini kian melemah.

Saat suamiku diopname banyak teman-teman kami, temanku, temannya, menjenguk suamiku, silih berganti terus berdatangan, karena jam jenguk dalam ruangan kami itu bebas. Dan kehadiran mereka sangat menghibur, tidak hanya diriku tetapi juga suamiku. Suamiku sudah bisa mulai bercanda, tertawa, mulai belajar berjalan. Sampai suatu ketika yang entah tepatnya hari apa, aku lupa, teman-teman sekumpulannya datang menjenguk suamiku.
Ditengah candaan dan perbincangan mereka, suamiku berkata

“Maafin gue ya bro kalau selama ini gue ada salah sama kalian”.

Aku lihat mereka saling bertatapan dan salah satu dari mereka berkata,

“Apa apaan si pake minta maaf segala, udah pokoknya lu harus sembuh, bentar lagi mau jadi Ayah juga”.

Entah kenapa seketika dadaku terasa sesak, mataku berkaca kaca, aku tidak sanggup mendengar permintaan maaf kepada temannya, ini mengingatkanku akan perkataannya waktu itu, saat ia belum mengalami masa kritis, beberapa hari sebelum tanggal 5 November. Saat ia memegang perutku yang sudah mulai membuncit, ia mengelus elus sambil berkata,

aku titip anak kita yananti kamu jagain anak kita ya”.

Dan seketika itu pula aku ingat, ia juga meminta maaf kepada adik perempuanku. Aku langsung bergegas kekamar mandi untuk menumpahkan air mataku. Karena aku tidak boleh terlihat lemah dihadapannya, apalagi sampai meneteskan air mata. Kalau aku lemah, lalu siapa yang akan menguatkannya? yang memberinya semangat untuk terus sembuh.

Hari-hari kami lewati bersama dalam kamar inap, tak pernah sedikitpun ia lepaskan genggamannya dari tanganku. Dan tidak boleh sedikitpun aku jauh darinya. Dalam kondisi saat itu, sebenarnya aku sangat lemah, sungguh. Bagaimana tidak, orang yang aku sayangi, calon Ayah dari anak dalam perutku terbaring lemah, bahkan sangat lemah, banyak selang selang yang terpasang ditubuhnya. Bahkan aku sangat tidak tega ketika menatap matanya yang penuh kesakitan itu. Ditambah perasaan ibu hamil yang sangat sensitif efek kadar hormon yang tidak stabil, tapi aku tidak berani menangis dihadapannya.

Toilet adalah tempat terbaik untuk meluapkan semua air mata.

Prinsipku, bagaimanapun kondisiku, aku harus selalu terlihat kuat dihadapannya, bagaimana mungkin aku bisa menguatkannya kalau aku sendiri terlihat lemah?. Tak pernah sedikitpun aku lelah berdoa meminta kesembuhan untuk suamiku.

Saat itu kandunganku sudah menginjak usia tepat 6 bulan.

Tetapi ada mukjizat lain, doaku, pintaku semuanya terkabul. Alhamdulillah hari ke-9 suamiku di opname keadaannya sudah semakin membaik, selang yang menempel ditubuhnya sudah boleh dilepas dan dokterpun sudah membolehkannya untuk pulang. Sabtu, 14 November 2015 kami pulang kerumah. Kondisinya yang masih terbilang lemah mengharuskannya untuk istirahat total.

Tetapi 3 hari setelah pulang kerumah kondisinya kembali memburuk, tepat hari Rabu tanggal 18 November 2015 suamiku kembali diopname pukul 10 malam. Perasaanku kembali hancur, nafsu makankupun kembali hilang, bahkan sejak saat itu aku sudah mulai tak memperhatikan kondisi bayi dalam perutku. Vitamin dari dokter kandunganpun sudah jarang aku minum. Dipikarnku hanya suamiku, suamiku, dan suamiku.

Saat itu suamiku sudah mulai tak banyak bicara, sosok humoris dan periangnya sama sekali tak nampak dalam dirinya. Ia lebih sering mendengarkan ayat-ayat Al-quran ditelinganya. Tak lepas tangannnya selalu menggeggam jemariku, genggaman yang begitu kuat seolah ia tak mau kehilangan diriku, padahal aku tak pernah beranjak dari manapun, terus disampingnya dan tetap disampingnya, sambil sesekali kukecup keningnya yang selalu terlihat pucat itu.

Aku ingat bahkan sangat ingat, suamiku sudah mulai menujukkan hal hal yang aneh, tepat tanggal 22 November 2015, iya tiga hari sebelum kepergianya dan tepat adzan magrib berkumandang, 

“Itu putih putih siapa? Mau ngapain dia kesini, suruh pergi”. sambil menunjuk keatas sudut ruang yang membuat bulu kudukku merinding.

Aku hanya berusaha berpikiran positif, mungkin itu hanya khayalannya efek rasa sakit dan nyeri yang ia rasakan. Apalagi ketika aku lihat lengannya yg banyak titik warna biru keunguan efek setiap hari harus diambil darah untuk memeriksa kondisinya yang terus menurun. Bahkan sempat kaki dan wajah suamiku kian membengkak, dan dokter bilang itu efek penumpukan cairan digiinjal. Dan matanya mulai menguning, dokter bilang ada pembesaran ukuran hati. Saat itu tidak ada orang yang mampu menerjemahkan perasaanku, batinku yang kian melemah. Bagaimana mungkin, lambung, paru paru sekarang ginjal juga hati ? cobaan macam apa ini. Aku semakin tidak peduli dengan kondisi janin dalam perutku. Bahkan untuk makanpun rasanya sama sekali tak berselera.

Tepat tanggal 24 November 2015, pukul 9 malam, suamiku yang sedang tertidur mendadak mengamuk sambil berteriak, 

“Aku gak bisa nafas, aku gak bisa nafas” . sambil menarik selang oksigen dihidungnya.

Akupun panik dan segera memanggil dokter jaga. Setelah mendapatkan penanganan dan suamiku sudah mulai tenang dokter memanggilku untuk datang keruangannya, karena ia ingin bicara 4 mata denganku. Saat masuk keruangannya, dokterpun tak banyak basa basi.

Ibu istrinya ya?”
“Iya dok” jawabku. Meskipun saat itu aku sama sekali tidak suka dipanggil ibu, usiaku baru menginjak angka 22.

“Kondisi suami ibu semakin kritis, detak jantungnya meningkat 2x lebih cepat, kalau tidak buru-buru mendapatkan penanganan suami ibu bisa gagal nafas”.

Ya Allah, ini adalah berita terburuk yang aku terima selama 22 tahun aku hidup didunia, rasanya seperti kisah drama yang ada dibalik layar televisi, tapi kali ini fakta aku benar benar merasakannya sendiri, apalagi saat doket mengatakan gagal nafas”. Ya allah aku takut, aku sangat takut. Aku langsung memegang perutku yang sangat kaku dan mengeras, sambil kutahan air mata yang mau menetes jatuh dari pelupuk mata.
Dari senyum berubah enjadi wajah panik

“Terus saya harus gimana Dok? Saya harus apa ?” . tanyaku cepat. 
Ibu harus segera membawa suami Ibu ke ruang ICU untuk mendapatkan penanganan khusus, Ibu bisa mulai mencari ruang dan mendaftar diruang pelayanan sekarang, lebih cepat lebih baik Bu”
“Terima kasih Dok”
. Jawabku singkat dan aku segera lari keruangan dimana suamiku dirawat, kebetulan saat itu suami kakak iparku datang, dan ia langsung mengurus semuanya. Sekitar pukul 11 malam kami pindah keruang ICU, dan saat itu suamiku bertanya,

“Aku mau dibawa kemana?”
“Jangan takut, cuma mau pemeriksaan aja ko, KAMU KUAT YA” aku jawab tenang seolah semua baik baik saja, sambil ku kecup keningnya.

Padahal pikiran dan hatiku begitu kalut, dadapun begitu sesak karena harus menahan air mata yang seharusnya mengalir deras, Ya allah perasaanku hancur, aku sangat lemah, darahku seakan membeku, lututpun sama sekali tak bisa diandalkan sebagai penyangga tapi tidak dihadapannya. Aku juga tidak menyebutkan kata ICU, agar suamiku tidak down mendengarnya.

“Kamu ikutkan?”
“Iya” 
jawabku singkat.

Padahal aku sama sekali tidak boleh masuk kedalam ruangannya. Dan aku menunggu diruang tunggu bersama keluarga lain yang aku lihat mereka juga dalam kondisi cemas sambil melihat tajam kearah perutku yang membuncit dan mata sembab ini.
saat itu aku ditemani bapak dan ibu mertuaku. Sekitar pukul 1 dini hari yang sudah memasuki tanggal 25 november. Bapak ibu mertuaku menyuruhku untuk tidur dirumah karena kondisi ruang tunggu sangat tidak memungkinkan untukku, dinginnya ruang dan bangku yang keras sama sekali tidak nyaman untuk perutku.


“Kamu pulang aja Res, dianter Bang Andi, kasian itu dede dalem perutnya kalo kamu disini, disini biar Bapak sama Ibu aja yang nemenin”. Kata ibu mertuaku.

Dengan berat hati akhirnya aku memutuskan untuk pulang yang memang rumah kami tidak jauh dari rumah sakit dimana suamiku dirawat, kurang lebih hanya 10 menit.

Sesampainya dirumah pikiranku masih kalut, dan aku masih terus menangis sambil kukabarkan orang tuaku dan juga sahabat terdekatku dan sahabat suamiku dan meminta doa untuk kesembuhannya. Bahkan sampai pukul 2 aku hanya menangis dan terus menangis memikirkan bagaimana kondisi suamiku. Entah jam berapa aku mulai terlelap. Pukul 3 aku terbangun firasatku sama sekali tidak enak, dan segera mengecek telepon genggamku. Aku lihat ada 10 panggilan tak terjawab dari bapak mertuaku, aku menangis sejadi jadinya. Entah kenapa aku yakin bahwa kabar tak enaklah yang akan aku terima. Lalu saudaraku yang rumahnya berdekatan mengetuk pintu dan segera memelukku sambil menangis ia bisikkan,

Resi yang sabar ya”.

Mendengar kalimat itu seolah aku tau apa maksudnya. Seketika kakiku lemas tak mampu lagi tegak berdiri, ya Allah kenapa kau tega mengambil orang penting yang sudah menjadi bagian hidupku. Dia mau sembuh, kita semua juga mengharapkan semua kesembuhannya. Kenapa kau tega ambil suamiku ya Allah, kenapa????? kenapa ya Allah????? dan diapun sudah berjanji untuk sembuh dan hadir dalam acara 7 bulanan anak kami yang 2 hari lagi akan kami laksanakan. 

Kenapa kau tak izinkan ya Allah...

Beribu pertanyaan masih terus mengalir bersama derasnya air mata. Dan aku semakin menangis menjadi-jadi setelah melihat perutku, bagaimana mungkin anakku menjadi yatim dalam kandungan, bagaimana mungkin nantinya ia tak memiliki ayah. Bagaimana mungkin aku kuat menjalani semuanya ya Allah.


Rabu, 25 November pukul 5 dini hari jenazah suamiku tiba dirumah. Tangisku semakin pecah saat aku melihat jasadnya, pucat begitu pucat, aku terus peluk badannya yang dingin, aku terus genggang jemarinya yang dingin, aku terus ciumi dinginnya keningnya, aku berharap suamiku bangun kembali melihat istrinya yang begitu sangat menginginkan kehadirannya kembali. Aku terus genggam jemarinya yang sudah mulai kaku, agar energi panas dalam tubuhku menghantar ketubuhnya agar ia bisa bangun kembali, aku bisikkan ditelinganya bahwa aku masih menginginkannya, aku sangat membutuhkannya.

“Bangun sayang, bangun, kamu harus bangun, sebentar lagi kamu mau jadi ayah, bangun sayang. Kenapa kamu jahat, kenapa kamu ninggalin aku dan calon anak kita. Bangun sayang. Bangun!!”.

Sementara orang lain sudah mulai berdatangan silih berganti tak ada satupun dari mereka yang tidak menangis, pria sekalipun. Mereka datang memeluk jenazah suamiku yang hanya terbaring, sambil menyuguhkan kata-kata penyemangat untuk diriku. Bahkan aku lupa apa saja yang mereka katakan, karena dipikiran sempitku saat itu hanya bagaimana suamiku bisa bangun lagi.
Padahal aku salah, Allah berkehendak lain, mungkin hanya dengan cara ini Allah menghentikan semua penderitaannya, menghentikan semua kesakitan yang suamiku rasakan saat itu. Tapi saat itu pikiranku sangat sempit, yang aku tahu hanya tuhan jahat karena telah mengambil suamiku, yang aku tahu tuhan begitu tega membiarkanku yang sedang mengandung hidup tanpa seorang suami.

Pukul 7, jenazah suamiku dimandikan, aku masih tidak percaya, bahkan sangat tidak percaya. Ini adalah hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya dalam hidupku, aku kehilangan sosok orang yang telah menjadi bagian dalam hidupku.

Aku ikut memandikan jenazah suamiku. Jujur aku tidak sanggup untuk berdiri memandikannya, tapi ini harus aku lakukan, ini adalah pengabdian terakhir untuk suamiku di dunia. Selesai dimandikan jasad suamiku dikafani, aku makin tidak sanggup melihatnya. Bagaimana mungkin aku menjadi saksi saat suamiku menggunakan pakaian terakhirnya. Ini adalah hal yang tidak pernah aku harapkan dalam hidup ya Tuhan. Jujur saat itu aku adalah lemah, selemah-lemahnya manusia, apalagi saat aku sudah tidak boleh lagi menyentuhnya, saat suamiku sudah kembali suci, saat wajah suamiku sudah ditutup kafan. Aku ingin berteriak sekuat yang ku bisa, tapi aku ingin terlihat tegar dihadapan para pelayat, dihadapan orang tua dan adik adikku, dihadapan keluarga, tetangga, juga dihadapan teman temanku.

Tak lama berselang, kemudian suamiku dibawa ke masjid untuk disholatkan, sedang keluargaku yang lain sibuk memaksaku makan, menyuapiku, menyuguhkanku segelas teh hangat, dengan alasan kasihan dengan janin dalam kandunganku yang saat itu usianya menginjak usia 6 jalan 7 bulan.

Bagaimana bisa menelan semua makanan dalam keadaan seperti ini, iya aku peduli terhadap kandunganku, tapi tidak dengan saat ini. Mulutku seolah menolak semuanya. Bahkan untuk membuka mulutpun aku sama sekali tidak mau. Tak satu katapun keluar dari mulutku semenjak jasad suamiku tiba dihadapanku.

Awalnya banyak pihak keluarga yang tidak mengizinkankan aku ikut dalam pemakaman suamiku karena ditakutkan aku lemah dan pingsan saat dipemakaman. Masih aku terima alasan mereka, tapi tidak berlaku untukku, aku yakin aku kuat, aku sanggup, aku tidak akan jatuh dipemakaman. Aku harus menyaksikan semuanya. Aku sampai dipemakaman lebih dulu dibanding suamiku, saat itu aku lihat liang lahatnya, tempat dimana yang akan menjadi peristirahatan terakhir suamiku. Saat jenazah suamiku tiba dipemakaman badanku rasanya tak bertulang, gontai, rasanya bagai terbang dibawa semilir angin dalam pemakaman.

Aku saksikan disetiap prosesnya, saat suamiku dikeluarkan dari keranda, saat suamiku diangkat dan diturunkan kedalam liang, air mataku mengalir sangat deras, lagi-lagi aku ingin sekali berteriak, aku ingin suamiku tetap hidup bersamaku, keegoisan dan pikiran sempitku terus menggerogoti batinku.

Rasanya aku sudah tidak ingin lagi ada hari esok, semua mimpi, harapan hilang menguai bersama derasnya linangan air mata. Saat azdan mulai dikumandangkan, saat tanah terakhir menutupi suamiku yang terbujur dibawah tanah.

Selamat jalan suamiku, doaku selalu menyertaimu, akan aku ceritakan semua tentangmu pada bidadari kecil kita saat ia terlahir kedunia kelak. Ia pasti bangga memiliki sosok ayah sepertimu.

Selamat jalan suamiku, aku disini akan terus menjaga dan merawat bidadari kecil kita. Aku pasti kuat, aku akan terus tegar. Doaku selalu ada untukmu dalam setiap sujud terakhirku. Semoga kamu bahagia disisi-Nya.

Dua bulan setelah kepergian suamiku, anakku lahir. Ia cantik, bahkan sangat cantik, ku beri ia nama “Arsifa Rinjani Salsabila”.

Dua tahun sudah waktu berlalu, kini aku sudah semakin ikhlas atas semua ketetapan tuhan, karena aku yakin, apapun yang tuhan gariskan, itu lah yang terbaik untuk umatnya.

Aku terus sibukkan disetiap detikan waktu agar tidak ada pikiran buruk yang terus menggerogoti. Entah itu melakukan aktifitas yang berhubungan dengan hobby, atau berkumpul dengan 
mereka dan berbagi tawa dengan mereka yang jauh lebih tidak seberuntung kita. Karena dengan melihat tawa mereka rasa syukur kita kepada tuhan akan terus bertambah.

Setelah anakku berumur 1 tahun 6 bulan, aku kembali bekerja, kini aku bekerja di salah satu majalah kuliner, dan aku kembali melanjutkan pendidikan di salah satu universitas swasta.


Untuk siapapun kalian yang membaca tulisan ini, kita semua pernah ada di puncak titik terberat hidup kita masing masing. Tinggal bagaimana kita menyikapi setiap cobaan yang tuhan berikan.

Untuk saya pribadi, puncak titik terberat saya adalah saat harus merelakan calon ayah dari janin yang sedang saya kandung pergi menghadap sang ilahi, di usia pernihan kami yang bisa dibilang masih terlalu dini. Dimana saya harus menjadi ibu sekaligus ayah untuk buah hati saya, dimana saya harus menjadi kepala keluarga tidak hanya dalam kartu keluarga, tetapi juga dalam kehidupan dikedepannya.

Terpuruk? sudah pasti. Bahkan untuk melanjutkan hidup pun rasanya sudah enggan. Saya akui 1 tahun pertama adalah masa tersulit bagi saya. Melihat mereka yang jalan ber-3 bersama buah hatinya, melihat ayah yang menggendong anaknya, bahagia tertawa bersama keluarga kecilnya. Mengapa mereka diberikan kesempatan hidup bersama? sedangkan saya tidak? saat itu yang ada dipikiran saya terus menerus mengutuk diri atas semua takdir. Itu alasan kuat mengapa saya lebih suka mengurung diri dirumah dari pada harus bertemu dengan orang banyak diluaran sana yang membuat diri semakin terpuruk.

Tapi apakah mengurung diri adalah solusi ?
Apakah mengakhiri hidup juga solusi ??
Bukan!


Semakin menutup diri semakin kita jauh dari bahagia bahkan semakin terpuruk, dan mengakhiri hidup pun belum tentu membuat kita bertemu dengan orang-orang terkasih yg lebih terdahulu pergi.
Cara menghilangkan ketakutan adalah dengan menghadapi ketakutan itu sendiri. 

Memang awalnya pasti akan ada air mata yg tumpah, hati yang tergetar. Tapi seiring berjalannya waktu semua akan terbiasa. Bahkan membuatmu semakin kuat.

Yakinlah, bahwa tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan umatnya, seberat apapun itu, tuhan pasti bantu kita melewati semuanya. Jangan pernah merasa sendiri, coba buka pikiran, buka hati, jangan menutup diri. Tanpa kita sadar, tuhan telah mengirim orang orang baik disekitar kita,yang menyayangi kita, yang merangkul kita, yang membuat kita kuat dan semakin kuat.

Sedih boleh, berlarut jangan.
Mengeluh boleh, berhenti melangkah jangan..


Hidup itu seperti berkendara, ada saatnya kamu harus terus melaju, ada saatnya kamu berhati-hati, ada saatnya pula kamu harus berhenti sejenak, mengistirahatkan lelah untuk kembali melanjutkan perjalanan, tidak harus selalu lurus, ada saatnya kamu belok, atau putar arah, naik atau turun, melaju cepat atau melambat, ada saatnya pula kamu harus mengalah atau menyalip tanpa membahayakan siapapun. Jangan pula kamu melupakan yang lalu, terkadang melihat sesekali kebelakang itu perlu demi kelancaran perjalanan dikedepannya. Tapi melihat kebelakang terus pun jangan, karena hanya akan membuatmu celaka nantinya.


Ingat .. Some beautiful paths can’t be discovered without getting lost.

Saat masalah berat datang, tidak menutup kemungkinan kamu akan merasa sepi dan sendiri, dan saya paham itu. Saat sepi, jangan pernah merasa kesepian. Kamu memang sendiri, tapi kamu tidak sendirian. God always beside you. Terus dekatkan diri pada tuhan, dengan begitu you will realise that God was always with you, directing every step you took. Percayalah akan kekuatan doa, and you should be thankful for the journey of life. Karena dengan bersyukur atas apapun yang kamu terima, kebahagiaan akan terus datang dengan sendirinya.

Ketika kamu mampu melewati semuanya, akan ada standing applause darimu, untuk dirimu sendiri. Jangan lupa untuk terus berbagi semangat kepada siapapun yang sedang terpuruk, bukan menggurui, tetapi lebih kepada merangkul agar orang itu tidak merasa sendirian. Teruslah menjadi bermanfaat bagi orang banyak.





- RESI LISTIANI- 

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Sahabat

ABOUT US! Setapak.Rasa

STORY CORNER by Setapak.Rasa